Hari itu, seseorang
menjumpai Umar bin Abdul Aziz. Khalifah dari Bani Umayyah yang sangat terkenal
itu. Didapatinya Umar sedang menangis. Sendirian.
“Mengapa engkau
menangis wahai Amirul Mukminin?” tanya orang itu dengan hati-hati. “Bukankah
engkau telah menghidupkan banyak sunnah dan menegakkan keadilan?” tanya orang
itu lagi dengan nada menghibur.
Umar masih terus
menangis. Tidak ada tanda-tanda ia akan berhenti dari tangisnya. Beberapa saat
kemudian, barulah ia menyahut seraya berkata, ”Bukankah aku kelak akan
dihadapkan pada pengadilan Allah, kemudian aku ditanya tentang rakyatku. Demi
Allah, kalau benar aku telah berbuat adil terhadap mereka, aku masih
mengkhawatirkan diri ini. Khawatir kalau diri ini tidak dapat menjawab
pertanyaan seandainya banyak hak rakyatku yang aku dzalimi?”
Air mata Umar terus
mengalir dengan derasnya. Tidak lama berselang setelah hari itu, Umar menghadap
Allah subhanahu wataala. Ia pergi untuk selama-lamanya.
Umar bin Abdul Aziz,
yang menangis dan terus menangis itu, hanyalah satu contoh dari kisah
’orang-orang risau’. Ya, orang-orang yang selalu punya waktu untuk merasa
risau, gundah, dan khawatir.
Bahkan sebagian mereka
mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk risau. Risau terhadap dirinya,
terhadap orang-orang di sekitarnya, atau terhadap beban dan tanggung jawab yang
dipikulnya.
Paradigma orang yang
menemui Umar, dalam kisah di atas, sangat berbeda dengan paradigma Umar, yang
tetap saja menangis. Orang itu bertanya heran mengapa Umar masih menangis,
karena dalam pandangan dirinya, Umar sudah sangat terkenal keshalihan dan
kebajikannya. Umar telah banyak melakukan kebaikan, berlaku adil kepada rakyat.
Dan bahkan mengantarkan mereka kepada kehidupan yang makmur dan damai.
Tetapi Umar tetap
menangis. Tangis kerisauan dari seseorang yang mengerti betul bagaimana ia
mesti ber-etika di hadapan Tuhannya. Tangis Umar adalah ekspresi kerisauan.
Kerisauan seorang penguasa yang memikul tanggung jawab berat. Tanggung jawab
memimpin ribuan rakyat. Ia juga tangis seorang yang telah menapaki
tangga-tangga hikmah. Yang keluasan ilmu dan amalnya semakin membuatnya
merunduk dan merendah.
Kerisauan seorang
Umar, adalah bukti bahwa setinggi apapun derajat hidup orang, sesungguhnya Ia
bisa risau. Meski kerisauan setiap orang berbeda antara yang satu dengan yang
lainnya. Bahkan justru di sinilah inti permasalahannya. Ialah bahwa sejarah
selalu mencatat, orang-orang besar sepanjang jaman, adalah orang-orang yang
punya waktu untuk risau, mengerti mengapa harus risau, dan apa yang mereka
risaukan. Sebagian bahkan meniti awal kebesarannya dari awal kerisauannya.
Sebab rasa risau
adalah titik api pertama, yang akan melontarkan sikap-sikap positif berikutnya,
lalu membakarnya hingga menjadi matang. Sikap mawas, selalu mengevaluasi diri,
tidak besar kepala, bertanggung jawab, tidak mengambil hak orang, dan
lain-lainnya. Keseluruhan sikap-sikap itu, pemantiknya adalah risau.
Sejarah tidak pernah
memberi tempat bagi orang-orang yang tidak pernah risau, selalu merasa aman,
enjoy sepanjang hidup, tanpa beban sedikitpun, untuk dicatat dalam daftar
orang-orang besar. Karena risau tidak saja simbol kesukaan akan tantangan,
dinamika dan kompetisi, tapi risau juga kendali dan sumber inspirasi bagi
segala sikap kehati-hatian.
Dalam pengertian
inilah, kita memahami peringatan Allah, bahwa seorang Mukmin, dan bahkan setiap
manusia, tidak boleh merasa aman dari adzab Allah. Orang-orang yang merasa
aman, tidak pernah merasa risau, tidak punya waktu untuk risau, dan bahkan
tidak mengerti mengapa harus risau, adalah orang-orang yang rugi.
Simaklah firman Allah
yang artinya, ”Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari
kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang
tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan
siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka
sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak
terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang
yang merugi. " (QS. Al-A’raf: 97 - 99).
Ayat tersebut
sedemikian jelas memaparkan, bahwa merasa aman dari adzab Allah adalah tindakan
yang salah. Kuncinya sangat sederhana. Karena manusia tidak pernah tahu apa
yang akan terjadi esok hari. Bahkan ia juga tidak bisa memastikan, apa yang
akan terjadi beberapa menit kemudian. Bisa jadi besok ia melakukan kesalahan,
lalu sesudah itu ia mendapat adzab. Bisa juga ia tidak melakukan kesalahan.
Tetapi juga mendapat imbas adzab dari kesalahan yang dilakukan orang lain.
Hidup ini seperti
hutan belantara yang sangat lebat. Manusia dan keseluruhan makhluk saling
berlomba di dalamnya. Berpacu, beradu, berlomba, atau juga saling bekerjasama.
Lebatnya belantara hidup membuat hidup begitu liat, keras, dan kadang harus
saling mengalahkan. Dalam seluruh denyut kehidupan itu manusia terikat oleh
serabut-serabut panjang dan saling berhimpitan. Ujung serabut itu terikat
dengan makhluk-makhluk itu. Sedang pangkalnya ada dalam genggaman tangan-tangan
Allah. Serabut-serabut itu adalah kekuasaan Allah, yang dari sana lahir
takdir-takdir bagi keseluruhan hidup manusia.
Maka, rasa risau,
dalam tatanan Islam adalah awal dari rasa ketergantungan kepada sumber-sumber
yang memberi rasa aman. Dan, sumber utama rasa aman itu adalah Allah. Yang Maha
Kuat lagi Maha Melindungi. Karenanya, orang-orang seperti Umar sangat memahami
betapa risau haginya adalah sebuah proses produktif seseorang dalam
berinteraksi dengan Tuhannya. Ia risau dan karenanya ia menangis. Ia menangis
dan karenanya ia berharap.
Kita, di sini,
sekumpulan orang-orang yang tak akan sampai menyamai Umar bin Abdul Aziz,
apalagi melampaui, semestinya menjadi orang-orang yang akhirnya mengerti
darimana sebuah kebesaran dimulai. Bahkan, sebuah harapan, ternyata, mula-mula
adalah segumpal risau.
Salah satu kebutuhan
penting dalam hidup, adalah merisaukan diri. Ia semacam rumah-rumah kecil untuk
persinggahan, bagi keseluruhan alur dan aliran semangat serta gelora hidup
kita. Sebuah risau adalah tali penyeimbang antara menengok ke belakang dan
berhati-hati menatap ke depan.
Maka seperti apakah
risau kita hari ini?